Hooten Tara Hoodok Falsafah Gotong Royong yang Menginspirasi Kemenangan Aceh atas Polemik Empat Pulau

0

Ilham Mirsal, S.Pd.I.,MA (Wakil Ketua III)

Di tengah derasnya gelombang individualisme dan pragmatisme politik yang kerap menyelimuti Indonesia hari ini, Aceh justru memperlihatkan sesuatu yang langka, kemenangan kolektif. Kemenangan itu datang bukan dari kekuatan senjata atau kekuasaan uang, melainkan dari semangat persatuan yang diwarisi dari falsafah nenek moyang, Adalah Hooten Tara Hoodok. Dan siapa sangka, semangat inilah yang menjadi jiwa tak terlihat dari kesuksesan perjuangan masyarakat Aceh dalam polemik pengembalian empat pulau ke pangkuan Tanah Rencong.

Beberapa bulan terakhir, publik Aceh sempat diguncang kabar mengejutkan: empat pulau di sekitar perbatasan Aceh Singkil — yang secara sejarah, budaya, dan geografis jelas merupakan bagian dari Aceh — justru secara administratif tercatat di provinsi Sumatra Utara. Hal ini memunculkan keresahan, gelombang protes, diskusi publik, dan bahkan rasa terancam terhadap kedaulatan wilayah Aceh.

Namun alih-alih meledak dalam konflik dan caci maki, rakyat Aceh menempuh jalan yang bijak mengangkat beban ini bersama-sama. Pemerintah Aceh, Ulama, tokoh adat, organisasi mahasiswa, media massa, akademisi, hingga masyarakat pesisir bahu-membahu menyuarakan aspirasi ini secara sistematis dan bermartabat. Diskusi diselenggarakan. Kajian historis diangkat. Arsip dan peta diteliti. Surat resmi dilayangkan. Suara kolektif pun bergema. Inilah momen ketika Aceh benar-benar hidup dalam falsafah Hooten Tara Hoodok. Ketika Pemerintah dan Rakyat Bersatu Presiden Prabowo Subianto akhirnya menanggapi dengan kepala dingin dan telinga terbuka. Setelah melalui telaah teknis dan diplomasi antardaerah, akhirnya empat pulau tersebut resmi dikembalikan sebagai bagian dari wilayah administratif Aceh. Suatu pencapaian yang bukan hanya legal-formal, tetapi juga simbolik bahwa ketika rakyat bersatu dan bergerak dengan cara yang benar, maka negara pun akan mendengar. Ini bukan sekadar kemenangan Aceh atas sepotong tanah atau titik koordinat. Ini adalah kemenangan atas sikap saling menyalahkan. Kemenangan atas ego sektoral. Kemenangan atas diamnya suara-suara kecil di tengah gegap gempita urusan nasional. Hooten Tara Hoodok semboyan nelayan yang bersahaja kini menjelma menjadi falsafah strategis, Mari kita tarik pukat ini bersama-sama, jangan biarkan hanya satu dua orang menarik beban sejarah sendirian. Falsafah Tradisional sebagai Panduan Masa Kini Yang menarik, kemenangan ini tidak lahir dari falsafah baru, melainkan dari kearifan lama yang dihidupkan kembali. Di saat banyak daerah berlomba-lomba meniru Barat, Aceh justru menemukan kekuatannya dalam akar tradisinya sendiri. Hooten Tara Hoodok adalah ajaran hidup. Ia mengajarkan bahwa: – Solidaritas lebih penting dari sensasi. – Langkah serempak lebih kuat daripada lari sendiri-sendiri. – Teriakan bersama lebih menggugah daripada orasi sendirian. Masyarakat Aceh telah membuktikan bahwa nilai budaya bukan barang museum. Ia bisa menjadi energi sosial yang nyata, yang bekerja, yang mampu mempengaruhi kebijakan nasional. Membangun Aceh dengan Hooten Tara Hoodok Kini, setelah empat pulau itu kembali ke pangkuan Aceh, saatnya kita bertanya: apa selanjutnya? Apakah semangat gotong royong ini hanya akan muncul saat krisis, lalu menghilang dalam keseharian kita? Apakah Hooten Tara Hoodok hanya berlaku di pantai, tetapi tidak berlaku di ruang rapat, kantor pemerintah, sekolah, dan pasar-pasar? Kemenangan ini harus menjadi langkah awal konsolidasi sosial Aceh. Jika kita bisa menyatukan suara untuk pulau, maka kita pasti bisa menyatukan suara untuk: – mengentaskan kemiskinan di wilayah barat selatan, – memberantas narkoba dari kalangan muda, – memperkuat pendidikan dayah dan sekolah umum, – serta mengangkat ekonomi rakyat dari laut hingga gunung. Aceh tidak kekurangan falsafah, tidak kekurangan tokoh, dan tidak kekurangan sejarah. Yang kita butuhkan adalah kesadaran untuk mengangkat kembali pukat bersama-sama. Penutup: Seruan dari Pesisir Hooten Tara Hoodok harusnya menjadi seruan harian masyarakat Aceh — bukan hanya saat menarik perahu, tapi saat menyusun rencana anggaran, saat membangun rumah tangga, saat menyelesaikan konflik sosial, bahkan saat memilih pemimpin. Mari kita tiru kearifan nelayan: mereka tidak banyak teori, tapi tahu bahwa jika satu orang menarik pukat sendiri, maka tali akan putus dan ikan akan lepas. Namun jika semua ikut menarik, dengan irama, dengan semangat, dengan arah yang sama — maka hasil pun akan sampai ke darat, untuk dinikmati bersama. Dan itulah falsafah pembangunan Aceh yang sejati. “Hooten Tara Hoodok!” — ayo kita tarik bersama-sama. Jangan ada yang tinggal diam. Jangan ada yang menarik ke arah berlawanan. Karena Aceh ini rumah kita bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *